HATI NURANI, PENTINGKAH ITU?
Dalam banyak kesempatan, anak-anak Tuhan suka makan
daging yang lezat di tempat makan yang pemiliknya bukan
anak Tuhan. Kalau pemiliknya bukan anak Tuhan, sangat
mungkin daging yang lezat tersebut dilibatkan dalam
ritual kepercayaan dari si pemilik rumah makan. Apakah
anak Tuhan berdosa memakan daging yang lezat tersebut?
Sebagian akan berkata, “Jangan makan, bisa saja daging
tersebut dipersembahkan kepada berhala.” Tapi sebagian
lagi berkata, “Tidak masalah memakannya, apa sih berhala
itu, bukankah ada Tuhan yang berdaulat di atas berhala?”
Inilah kira-kira situasi yang terjadi dengan umat Tuhan
di kota Korintus dua ribu tahun yang lalu dalam 1
Korintus 8. Situasi seperti ini dapat saja terjadi dalam
berbagai bentuk di masa kini, aktivitas makan daging
lezat dapat saja mengambil bentuk lain, seperti ‘berada
di gedung bioskop’ dan yang lainnya. Perbedaan sikap
yang terjadi dalam kasus seperti ini sering menjadi
perdebatan dalam gereja; atau daripada berdebat, lebih
baik dianggap tidak ada, ‘tahu sama tahu’. Apa yang
sesungguhnya terjadi dalam kasus ini? Inilah perbedaan
hati nurani yang dimiliki oleh setiap orang percaya!
Mengapa kita perlu memahami keberadaan hati nurani? Di
era penuaiaan yang terbesar dan yang terakhir ini gereja
sangat membutuhkan kesatuan di tengah keberagaman.
Pemahaman akan keberadaan hati nurani dan kesadaran akan
adanya perbedaan hati nurani akan lebih memperkuat
kesatuan gereja. Secara pribadi, pemahaman akan fungsi
hati nurani juga akan memampukan seseorang menjadi orang
yang berintegritas, yaitu orang yang melakukan apa yang
dia yakini benar. Karena itu, mari kita mulai
menyelidiki ‘hati nurani’ dalam terang Firman.
Apa yang dimaksud dengan ‘hati nurani’? Andy Naselli,
seorang ahli Perjanjian Baru, mendefinisikannya sebagai
“kesadaran akan apa yang anda percaya sebagai benar atau
salah”. Kata ‘hati nurani’ dalam bahasa Yunani, yaitu ‘suneidesis’,
memiliki arti harfiah ‘persepsi bersama’
(co-perception). Ini adalah persepsi seseorang bersama
dengan dirinya sendiri. Kata ‘suneidesis’ dalam berbagai
bentuk muncul sebanyak tiga puluh (30) kali dalam
Perjanjian Baru. Ini berarti, Alkitab banyak berbicara
mengenai hati nurani. Sebagian orang mungkin tidak
menyadarinya, tapi kita ingin menjadi orang-orang yang
menyadari keberadaan hati nurani ini sesuai yang Alkitab
katakan.
Karena hati nurani adalah sebuah kesadaran (awareness)
maka hati nurani akan mengimbau kita untuk melakukan apa
yang kita percayai benar dan menahan kita dari perbuatan
yang kita percayai salah. Hati nurani berbeda dengan
suara Tuhan atau hukum Tuhan. Ini adalah kemampuan alami
manusia yang menilai dan menghakimi tindakan dan pikiran
sesuai dengan standar tertinggi yang diketahuinya.
Sebagai orang percaya, tentunya standar tertinggi kita
dalam hal moral adalah Alkitab. Martin Luther pernah
berkata, “Hati nuraniku ditawan oleh Firman Allah”.
Karena itu, mari kita menyelidiki apa yang Alkitab
katakan tentang hati nurani.
Pertama, setiap orang memiliki hati nurani yang berbeda.
Ada orang yang hati nuraninya lemah, yaitu orang yang
melihat daging yang lezat itu sebagai persembahan
berhala sehingga tidak memakannya (1 Korintus 8:7).
Dalam istilah lain dikatakan, “orang yang lemah imannya
hanya makan sayur-sayuran saja.” (Roma 14:2). Namun, di
ayat yang sama, ada orang yang ‘kuat’ imannya yaitu
mereka yang yakin bahwa ia boleh makan segala jenis
makanan. Perbedaan antara ‘lemah’ dan ‘kuat’ tidaklah
menunjukkan perbedaan kualitas kerohanian seseorang; ini
adalah perbedaan hati nurani. Yang terpenting adalah
sikap antar seorang terhadap yang lain, yaitu, “Siapa
yang makan, janganlah menghina orang yang tidak makan,
dan siapa yang tidak makan, janganlah menghakimi orang
yang makan, sebab Allah telah menerima orang itu.” (Roma
14:3 TB2). Makan atau tidak makan daging bukanlah
masalah dosa atau tidak, karena “Sebab, Kerajaan Allah
bukanlah soal makanan dan minuman, tetapi soal kebenaran,
damai sejahtera dan sukacita oleh Roh Kudus.” (Roma
14:17 TB2). Tentang perbedaan hari nurani ini, John
MacArthur menjelaskan:
“… Hati nurani yang lemah biasanya sangat sensitif dan
aktif berlebihan akan hal-hal yang bukan dosa. Ironisnya,
hati nurani yang lemah lebih mungkin menuduh daripada
hati nurani yang kuat. Alkitab menyebutnya sebagai hati
nurani yang lemah karena terlalu mudah terluka. Orang
dengan hati nurani yang lemah cenderung kuatir akan
hal-hal yang seharusnya tidak memprovokasi rasa bersalah
bagi Kristen dewasa yang mengetahui kebenaran Allah.”
Kedua, setiap orang harus menaati hati nuraninya.
Alkitab mengajarkan dalam Roma 14 dan 1 Korintus 8 bahwa
melawan hati nurani, ketika kita tahu ia sedang
memberikan peringatan yang tepat, adalah perbuatan dosa.
Alkitab katakan, “Namun, siapa saja yang bimbang, kalau
ia makan, ia telah dihukum, karena ia tidak melakukannya
berdasarkan keyakinan iman. Segala sesuatu yang tidak
berdasarkan iman, adalah dosa.” (Roma 14:23 TB2). Dari
ayat ini kita simpulkan bahwa tindakan yang dilakukan
bukanlah dosa; itu menjadi dosa ketika dilakukan melawan
hati nuraninya.
Paulus memperingatkan Timotius akan bahaya yang menimpa
orang yang menolak kesaksian hati nuraninya. Ia meminta
Timotius untuk “... memperjuangkan perjuangan yang baik
dengan iman dan hati nurani yang murni.” Selanjutnya
dikatakan, “Beberapa orang telah menolak hati nuraninya
yang murni itu, dan karena itu kandaslah iman mereka”
1 Timotius 1:18-19 TB2
Harap diperhatikan bahwa ‘ketaatan’ kepada hati nurani
ada batasannya. Hati nurani dapat menjadi tidak sensitif
akan hal yang buruk (1 Timotius 4:2) dan menjadi jahat (Ibrani
10:22). Karena itu, ketika Allah menunjukkan lewat
Firman-Nya bahwa hati nurani seseorang memberikan
penilaian moral yang salah, maka hati nuraninya harus
tunduk kepada Allah dan kemudian mengkalibrasi ulang
hati nuraninya sehingga lebih seturut dengan Firman-Nya.
Inilah yang terjadi dengan Petrus dalam Kisah Para Rasul
10:9-16. Hati nurani Petrus melarangnya untuk menyantap
makanan yang haram dan juga melarangnya untuk menerima
orang yang tidak bersunat (gentiles) ke rumahnya. Bila
Petrus melawan hati nuraninya untuk menerima orang
bersunat ke rumahnya, sesungguhnya ia sudah berdosa.
Akan tetapi, lewat sebuah penglihatan Allah berfirman,
“Bangunlah, Petrus, sembelihlah dan makanlah!”; “Apa
yang dinyatakan halal oleh Allah, tidak boleh engkau
nyatakan haram.” (Kisah Para Rasul 10:13,15 TB2). Lewat
perintah Tuhan ini, hati nurani Petrus dikalibrasi ulang
sehingga lebih sesuai dengan kehendak Allah. Inilah
salah satu bentuk paradigma yang baru, yaitu ketika
TUHAN memberikan pola yang baru dan kita diberikan cara
melihat yang baru. Haleluya!
Merupakan hal yang sangat tepat untuk kita menghidupi
prinsip-prinsip Firman Tuhan tentang hati nurani. Kita
dapat mempraktekkan hal-hal sebagai berikut:
1. Didiklah hati nurani dengan membaca Firman Tuhan
setiap hari menggunakan Bible Reading Plan (rencana
membaca Alkitab) yang tersedia di aplikasi Alkitab
digital. Dengan menggunakan rencana membaca yang tepat,
kita dilatih untuk melihat gambaran Alkitab secara
keseluruhan, terutama kaitan antara Perjanjian Lama
dengan Perjanjian Baru.
2. Diskusikan isi hati nuranimu dalam COOL, terutama
ketika hendak mengambil sebuah keputusan moral. Sadari
bahwa hati nurani setiap orang berbeda. Dalam kehidupan
komunitas kudus, tuntunan Roh Kudus dan Firman
dinyatakan (Kisah Para Rasul 15:1-21).
3. Bacalah buku-buku yang menjelaskan prinsip Alkitab
tentang hati nurani dan etika Kristen. Bukan kebetulan
kalau ada beberapa buku penting tentang hati nurani yang
terbit beberapa tahun terakhir ini.
“It is neither safe nor prudent to do anything against
conscience.” – Martin Luther
(“Tidaklah aman atau bijaksana melakukan sesuatu melawan
hati nurani”)
(HT).